Rabu, 16 April 2014

KEHIDUPAN EKONOMI DI MASA PENJAJAHAN, ORDE LAMA, ORDE BARU DAN REFORMASI



Kelas               :          1EB22
Nama kelompok:
1.    Annisa Zahra                     (21213168)
2.    Dewi Nur Hayati                (22213295)
3.    Firdina Fildzza                    (23213502)
4.    Vinny Juwanti                    (29213159)
BAB I
PENDAHULUAN

Memang ada sedikit perbedaan yang cukup menjadi perhatian kita mengenai sejarah sosial dan sejarah politik di Indonesia dibandingkan dengan sejarah perekonomian Indonesia pada masa silam. Perbedaan itu terlihat dari kurangnya para peneliti ekonomi dan sejarahwan dalam mempelajari sejarah ekonomi khususnya pada masa kolonial Belanda. Padahal di negara-negara bagian Asia Selatan banyak sekali dilakukan penelitian mengenai pengaruh kekuasaan kolonial Belanda terhadap situasi ekonomi di saat mereka masih berkuasa di beberapa negara tersebut.
Sebagai contoh di negara India. Menurut berbagai laporan penelitian dalam hal sejarah perekonomian India, ternyata kebijakan-kebijakan di India saat ini banyak juga dipengaruhi oleh hasil studi ekonomi pada saat Belanda masih menguasai India. Ternyata terdapat berbagai dampak positif dari hasil penerapan menurut hasil penelitian tersebut.  Mungkin ini bisa menjadi contoh bagi bangsa kita.

  
BAB II
ISI

1.    Kehidupan Politik Ekonomi masa Penjajahan Belanda

Saat Hindia Belanda dipegang oleh tiga komisaris jenderal, kondisi keuangannya sangat merosot. Selain kebangkrutan VOC, juga karena adanya pengeluaran yang besar untuk menghadapi Perang Diponegoro dan Perang Padri. Permasalahan yang dihadapi Belanda semakin rumit setelah Belgia yang menjadi saka guru industrinya memisahkan diri pada tahun 1830. Lalu, apa dampak yang muncul di Hindia Belanda?
Tugas untuk mengatasi kesulitan perekonomian Belanda itu diberikan kepada Johannes van den Bosch. Ia diangkat menjadi gubernur jenderal Hindia Belanda dengan target untuk meningkatkan penerimaan negara dan mengatasi masalah keuangan. Salah satu kebijakannya yang terkenal adalah sistem tanam yang kemudian dikenal dengan tanam paksa (cultuurstelsel). Daendels mewajibkan rakyat untuk membayar pajak dalam bentuk hasil pertanian (inatura) seperti kopi, tebu, dan nila. Sasarannya adalah Hindia Belanda bisa mengekspornya ke Belanda untuk kemudian dijual ke Amerika.
Inti sari konsep Daendels adalah menjadikan tanah jajahan sebagai tempat mengambil keuntungan bagi negeri induk. Konsep itu didasarkan atas dua konsep yaitu wajib atau paksa dan monopoli. Prinsip pertama pernah diterapkan VOC dalam bentuk verplichte leveranties (penyerahan wajib) yang dikembangkan Daendels menjadi Preanger-Stelsel. Penerapan sistem ini sangat membutuhkan perantara yang berasal dari penguasa tradisional di daerah dan organisasi desa. Prinsip kedua diterapkan dengan memberikan hak monopoli kepada Nederlandsche Handels Maatschappij untuk mengurusi produksi pengangkutan dan perdagangan hasil ekspor Jawa. Lalu, bagaimana dampak penerapan kedua prinsip itu?

a.    Kehidupan Ekonomi
Apabila cultuurstelsel itu dilaksanakan dengan baik sesuai konsep, tidak terlalu membebani kehidupan rakyat. Tetapi dalam praktiknya banyak terjadi penyimpangan. Mengapa? van den Bosch menawarkan iming-iming atau perangsang bahwa para bupati, pegawai Belanda, dan kapala desa akan mendapatkan culture procenten yaitu bagian dari tanaman yang disetor sebagai bonus selain pendapatan yang biasa diterima. Sesuai ketentuan cultuurstelsel, rakyat diharuskan menyediakan sebagian tanahnya untuk ditanami tanaman ekspor, luasnya tidak lebih dari 1/5, waktu pemeliharaan tanaman tidak lebih dari masa tanam padi, tanah tersebut bebas pajak, sisa hasil bumi di luar pajak diberikan kepada petani, dan gagal panen ditanggung pemerintah. Ketentuan ini dengan mudah dilanggar karena adanya culture procenten dan desakan kepentingan penguasa kolonial.
Selain harus kerja rodi, petani juga kehilangan tanah-tanah suburnya, membayar gagal panen, dan kehilangan sumber daya yang bisa memberinya penghasilan. Pada masa ini kehidupan rakyat diliputi suasana penderitaan dan kesengsaraan. Wabah kelaparan pun menjangkiti rakyat Cirebon (1844), Demak (1848), dan Grobogan (1849). Sebaliknya, para bupati dan aparat lokal bisa memperoleh bonus untuk memperkaya diri. Mereka yang semestinya menjadi perantara kebijakan berubah menjadi bagian dari penguasa yang menekan dan memaksa rakyat. Tidak aneh apabila para bupati juga berperan sebagai mandor.
b.    Kehidupan Politik
Kehidupan politik di Hindia Belanda pada periode sistem tanam paksa adalah membuat kebijakan yang bisa menyelamatkan krisis yang melanda negeri Belanda. Para bupati dan bangsawan diberi kekuasaan yang lebih untuk bisa membantu program pemerintah. Para bupati tersebut semakin berkuasa karena juga mempunyai kepentingan pribadi untuk mendapatkan keuntungan yang lebih. Kebijakan tersebut menyebabkan jumlah pegawai kolonial bertambah banyak. Peran bupati yang tidak lebih dari sekadar mandor pemerintah itu ternyata justru mengurangi wibawanya di mata rakyat dan struktur di bawahnya.
Organisasi desa yang semula mempunyai ikatan yang kuat berubah menjadi kepanjangan tangan pemerintah kolonial. Karena, dari desalah seluruh pungutan pemerintah dari masyarakat bisa dilaksanakan. Penetrasi kekuasaan kolonial ke dalam organisasi desa sebetulnya membawa perubahan tetapi di sisi yang lain juga memperkuat kekuasaan tradisional dari kepala desa. Dampaknya adalah rakyat menghadapi dua bentuk penjajahan yaitu dari pemerintah kolonial dan dari penguasa lokal sejak raja, bupati/adipati, hingga bekel/kepala desa.
Mobilisasi yang dilaksanakan oleh pemerintah kolonial itu ternyata efektif untuk mengeruk keuntungan dan merekonstruksi perekonomian Belanda. Hanya saja, penyimpangan yang terjadi di dalam pelaksanaan cultuurstelsel itu juga membawa reaksi dari berbagai kalangan. Kecaman datang dari oposisi kolonial yang dipelopori oleh van Hoevell dan disusul oleh Douwes Dekker.Fakta menyebutkan bahwa pelaksanaan cultuurstelsel jelas mengeksploitasi penduduk pribumi baik tenaga maupun tanahnya. Tanah-tanah yang semula milik pribadi harus lepas ke tangan swasta agar bisa ditanami.
Dampak dari munculnya kecaman itu adalah dihapuskannya secara bertahap beberapa jenis tanaman seperti nila, teh, dan kayu manis pada tahun 1865. Tanaman tersebut memang kurang memberi keuntungan pada pemerintah kolonial. Namun, secara berturut-turut beberapa tanaman juga mulai dihapus seperti tembakau (1866), tebu (1884), dan kopi (1916). Cultuurstelsel mulai dihapus karena berhasil menutup defisit dan meningkatkan kemakmuran bangsa Belanda.
Meskipun menyisakan penderitaan bagi rakyat, namun cultuurstelsel juga meninggalkan beragam prasarana yang bermanfaat bagi rakyat. Selain mengenalkan beragam jenis tanaman baru, pemerintah kolonial juga telah membangun jaringan transportasi kereta api, komunikasi, dan prasarana perkotaan. Kota-kota yang telah berdiri sejak abad XIX tidak hanya menjadi pusat perdagangan tetapi juga pemerintahan dengan segala kemudahan dan pelayanan. Beragam kekuatan sosial, politik, dan kebudayaan yang ada di kota memancing adanya urbanisasi dan perubahan sosial.
Kehidupan rakyat mulai sedikit diperhatikan setelah kelompok etis Belanda mengusulkan perbaikan kehidupan. Hal ini mereka tempuh setelah melihat keuntungan yang diraih Belanda dan penderitaan yang dialami rakyat. Tidak aneh apabila pada akhir abad XIX mulai bermunculan sekolah untuk rakyat. Meskipun semula hanya untuk memenuhi kepentingan pemerintah (birokrasi dan perkebunan) serta swasta kolonial, namun dalam jangka panjang hal itu memperluas terjadinya mobilitas sosial. Banyak siswa yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia yang bertemu di kota-kota besar untuk mengikuti pendidikan kolonial.
Sistem pendidikan yang diadakan pemerintah kolonial itu ternyata justru melahirkan kelompok elite baru yaitu bangsawan terdidik pada awal abad XX. Kelompok inilah yang menjadi peletak dasar kebangkitan nasional. Melalui sekolah-sekolah seperti OSVIA dan STOVIA, para pelajar bisa mengenal bahasa Belanda dan membuka wawasan mengenai beragam masalah kebangsaan. Kesadaran untuk hidup berbangsa pun mulai masuk ke dalam dada para pelajar. Benih nasionalisme yang mulai tumbuh lalu diaktualisasikan dalam bentuk organisasi pergerakan. Pada masa inilah, identitas keindonesiaan mulai terbentuk dan menggantikan ikatan-ikatan tradisional.

2.    Kehidupan Politik Ekonomi masa Orde Lama

a.    Masa Pasca Kemerdekaan (1945-1950)
Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk, antara lain disebabkan oleh :
1.    Inflasi yang sangat tinggi, disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang. Kemudian pada tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar mempengaruhi kenaikan tingkat harga.
2.    Adanya blokade ekonomi oleh Belanda, sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu perdagangan luar negri RI.
3.    Kas negara kosong.
4.    Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain:
1.    Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman dengan persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946.
2.    Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India, mangadakan kontak dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.
3.    Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi perkebunan-perkebunan.
4.    Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947
5.    Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948 >>mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
6.    Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan membaik (Mazhab Fisiokrat : sektor pertanian merupakan sumber kekayaan).
b.    Masa Demokrasi Liberal (1950-1957)
Masa ini disebut masa liberal, karena dalam politik maupun sistem ekonominya menggunakan prinsip-prinsip liberal. Perekonomian diserahkan pada pasar sesuai teori-teori mazhab klasik yang menyatakan laissez faire laissez passer. Padahal pengusaha pribumi masih lemah dan belum bisa bersaing dengan pengusaha nonpribumi, terutama pengusaha Cina. Pada akhirnya sistem ini hanya memperburuk kondisi perekonomian Indonesia yang baru merdeka.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi, antara lain:
1.    Gunting Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret 1950, untuk mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga turun.
2.    Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menunbuhkan wiraswastawan pribumi dan mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing dengan membatasi impor barang tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya pada importir pribumi serta memberikan kredit pada perusahaan-perusahaan pribumi agar nantinya dapat berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional. Namun usaha ini gagal, karena sifat pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif dan tak bisa bersaing dengan pengusaha non-pribumi.
3.    Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951 lewat UU no.24 th 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi.
4.    Sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha cina dan pengusaha pribumi. Pengusaha non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan pada pengusaha pribumi, dan pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional. Program ini tidak berjalan dengan baik, karena pengusaha pribumi kurang berpengalaman, sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.
5.    Pembatalan sepihak atas hasil-hasil KMB, termasuk pembubaran Uni Indonesia-Belanda. Akibatnya banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya sedangkan pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa mengambil alih perusahaan-perusahaan tersebut.

c.    Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967)
Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik,dan ekonomi (Mazhab Sosialisme). Akan tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia, antara lain :
1.    Devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang sebagai berikut :Uang kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000 menjadi Rp 100, dan semua simpanan di bank yang melebihi 25.000 dibekukan.
2.    Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga barang-barang naik 400%.
3.    Devaluasi yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi Rp 1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah lama, tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi. Maka tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi.
Kegagalan-kegagalan dalam berbagai tindakan moneter itu diperparah karena pemerintah tidak menghemat pengeluaran-pengeluarannya. Pada masa ini banyak proyek-proyek mercusuar yang dilaksanakan pemerintah, dan juga sebagai akibat politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara Barat. Sekali lagi, ini juga salahsatu konsekuensi dari pilihan menggunakan sistem demokrasi terpimpin yang bisa diartikan bahwa Indonesia berkiblat ke Timur (sosialis) baik dalam politik, eonomi, maupun bidang-bidang lain.

3.    Kehidupan Politik Ekonomi masa Orde Baru

Pada awal orde baru, stabilisasi ekonomi dan stabilisasi politik menjadi prioritas utama. Program pemerintah berorientasi pada usaha pengendalian inflasi, penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Pengendalian inflasi mutlak dibutuhkan, karena pada awal 1966 tingkat inflasi kurang lebih 650 % per tahun. Setelah melihat pengalaman masa lalu, dimana dalam sistem ekonomi liberal ternyata pengusaha pribumi kalah bersaing dengan pengusaha nonpribumi dan sistem etatisme tidak memperbaiki keadaan, maka dipilihlah sistem ekonomi campuran dalam kerangka sistem ekonomi demokrasi pancasila. Ini merupakan praktek dari salahsatu teori Keynes tentang campur tangan pemerintah dalam perekonomian secara terbatas.
Jadi, dalam kondisi-kondisi dan masalah-masalah tertentu, pasar tidak dibiarkan menentukan sendiri. Misalnya dalam penentuan UMR dan perluasan kesempatan kerja. Ini adalah awal era Keynes di Indonesia. Kebijakan-kebijakan pemerintah mulai berkiblat pada teori-teori Keynesian.
Kebijakan ekonominya diarahkan pada pembangunan di segala bidang, tercermin dalam 8 jalur pemerataan, yaitu:
1.    Kebutuhan pokok
2.    Pendidikan dan kesehatan
3.    Pembagian pendapatan
4.    Kesempatan kerja
5.    Kesempatan berusaha
6.    Partisipasi wanita dan generasi muda
7.    Penyebaran pembangunan
8.    Peradilan.
Semua itu dilakukan dengan pelaksanaan pola umum pembangunan jangka panjang (25-30 tahun) secara periodik lima tahunan yang disebut Pelita (Pembangunan lima tahun). Hasilnya, pada tahun 1984 Indonesia berhasil swasembada beras, penurunan angka kemiskinan, perbaikan indikator kesejahteraan rakyat seperti angka partisipasi pendidikan dan penurunan angka kematian bayi, dan industrialisasi yang meningkat pesat. Pemerintah juga berhasil menggalakkan preventive checks untuk menekan jumlah kelahiran lewat KB dan pengaturan usia minimum orang yang akan menikah.
Namun dampak negatifnya adalah kerusakan serta pencemaran lingkungan hidup dan sumber-sumber daya alam, perbedaan ekonomi antar daerah, antar golongan pekerjaan dan antar kelompok dalam masyarakat terasa semakin tajam, serta penumpukan utang luar negeri.
Disamping itu, pembangunan menimbulkan konglomerasi dan bisnis yang sarat korupsi, kolusi dan nepotisme. Pembangunan hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpa diimbangi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang adil. Sehingga meskipun berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tapi secara fundamental pembangunan nasional sangat rapuh. Akibatnya, ketika terjadi krisis yang merupakan imbas dari ekonomi global, Indonesia merasakan dampak yang paling buruk. Harga-harga meningkat secara drastis, nilai tukar rupiah melemah dengan cepat, dan menimbulkan berbagai kekacauan di segala bidang, terutama ekonomi.

4.    Kehidupan Politik Ekonomi masa Reformasi

Pemerintahan presiden BJ.Habibie yang mengawali masa reformasi belum melakukan manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakannya diutamakan untuk mengendalikan stabilitas politik. Pada masa kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid pun, belum ada tindakan yang cukup berarti untuk menyelamatkan negara dari keterpurukan. Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi yang diwariskan orde baru harus dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs rupiah. Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang menjatuhkan kredibilitasnya di mata masyarakat. Akibatnya, kedudukannya digantikan oleh presiden Megawati.
a.    Masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri
Masalah-masalah yang mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi persoalan-persoalan ekonomi antara lain :
1.    Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.
2.    Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing.
Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali untuk menanamkan modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya pembangunan nasional.
b.    Masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono
Kebijakan kontroversial pertama presiden Yudhoyono adalah mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial.Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure Summit pada bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan kepala-kepala daerah.
Menurut Keynes, investasi merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja. Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi kemudahan bagi investor, terutama investor asing, yang salahsatunya adalah revisi undang-undang ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah.
Pada pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang pada IMF sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negri. Namun wacana untuk berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat, setelah keluarnya laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena pengucuran kredit perbankan ke sector riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka menyimpan dana di SBI), sehingga kinerja sector riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi. Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental, sehingga menyebabkan kecilnya realisasi belanja Negara dan daya serap, karena inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya mengundang investor dari luar negri, tapi di lain pihak, kondisi dalam negri masih kurang kondusif.


Analisa Sejarah Perekonomian Indonesia
Seusai masa kerajaan-kerajaan Islam, pembabakan perjalanan perekonomian Indonesia dapat dibagi dalam empat masa, yaitu masa sebelum kemerdekaan, orde lama, orde baru, dan masa reformasi.
1.    SEBELUM KEMERDEKAAN
Sebelum merdeka, Indonesia mengalami masa penjajahan yang terbagi dalam beberapa periode. Ada empat negara yang pernah menduduki Indonesia, yaitu Portugis, Belanda,Inggris, dan Jepang. Portugis tidak meninggalkan jejak yang mendalam di Indonesia karena keburu diusir oleh Belanda, tapi Belanda yang kemudian berkuasa selama sekitar 350 tahun, sudah menerapkan berbagai sistem yang masih tersisa hingga kini. Untuk menganalisa sejarah perekonomian Indonesia, rasanya perlu membagi masa pendudukan Belanda menjadi beberapa periode, berdasarkan perubahan-perubahan kebijakan yang mereka berlakukan di Hindia Belanda (sebutan untuk Indonesia saat itu).
a.    Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC)
Belanda yang saat itu menganut paham Merkantilis benar-benar menancapkan kukunya di Hindia Belanda. Belanda melimpahkan wewenang untuk mengatur Hindia Belanda kepada VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie), sebuah perusahaan yang didirikan dengan tujuan untuk menghindari persaingan antar sesama pedagang Belanda, sekaligus untuk menyaingi perusahaan imperialis lain seperti EIC (Inggris).
Untuk mempermudah aksinya di Hindia Belanda, VOC diberi hak Octrooi, yang antara lain meliputi :
1.    Hak mencetak uang
2.    Hak mengangkat dan memberhentikan pegawai
3.    Hak menyatakan perang dan damai
4.    Hak untuk membuat angkatan bersenjata sendiri
5.    Hak untuk membuat perjanjian dengan raja-raja
Hak-hak itu seakan melegalkan keberadaan VOC sebagai “penguasa” Hindia Belanda. Namun walau demikian, tidak berarti bahwa seluruh ekonomi Nusantara telah dikuasai VOC. Kenyataannya, sejak tahun 1620, VOC hanya menguasai komoditi-komoditi ekspor sesuai permintaan pasar di Eropa, yaitu rempah-rempah. Kota-kota dagang dan jalur-jalur pelayaran yang dikuasainya adalah untuk menjamin monopoli atas komoditi itu. VOC juga belum membangun sistem pasokan kebutuhan-kebutuhan hidup penduduk pribumi. Peraturan-peraturan yang ditetapkan VOC seperti verplichte leverentie (kewajiban meyerahkan hasil bumi pada VOC ) dan contingenten (pajak hasil bumi) dirancang untuk mendukung monopoli itu. Disamping itu, VOC juga menjaga agar harga rempah-rempah tetap tinggi, antara lain dengan diadakannya pembatasan jumlah tanaman rempah-rempah yang boleh ditanam penduduk, pelayaran Hongi dan hak extirpatie (pemusnahan tanaman yang jumlahnya melebihi peraturan). Semua aturan itu pada umumnya hanya diterapkan di Maluku yang memang sudah diisolasi oleh VOC dari pola pelayaran niaga samudera Hindia.
Dengan memonopoli rempah-rempah, diharapkan VOC akan menambah isi kas negri Belanda, dan dengan begitu akan meningkatkan pamor dan kekayaan Belanda. Disamping itu juga diterapkan Preangerstelstel, yaitu kewajiban menanam tanaman kopi bagi penduduk Priangan. Bahkan ekspor kopi di masa itu mencapai 85.300 metrik ton, melebihi ekspor cengkeh yang Cuma 1.050 metrik ton.  Namun, berlawanan dengan kebijakan merkantilisme Perancis yang melarang ekspor logam mulia, Belanda justru mengekspor perak ke Hindia Belanda untuk ditukar dengan hasil bumi. Karena selama belum ada hasil produksi Eropa yang dapat ditawarkan sebagai komoditi imbangan,ekspor perak itu tetap perlu dilakukan. Perak tetap digunakan dalam jumlah besar sebagai alat perimbangan dalam neraca pembayaran sampai tahun 1870-an.
Pada tahun 1795, VOC bubar karena dianggap gagal dalam mengeksplorasi kekayaan Hindia Belanda. Kegagalan itu nampak pada defisitnya kas VOC, yang antara lain disebabkan oleh :
1.    Peperangan yang terus-menerus dilakukan oleh VOC dan memakan biaya besar, terutama perang Diponegoro.
2.    Penggunaan tentara sewaan membutuhkan biaya besar.
3.    Korupsi yang dilakukan pegawai VOC sendiri.
4.    Pembagian dividen kepada para pemegang saham, walaupun kas defisit.
Maka, VOC diambil-alih (digantikan) oleh republik Bataaf (Bataafsche Republiek).
Republik Bataaf dihadapkan pada suatu sistem keuangan yang kacau balau. Selain karena peperangan sedang berkecamuk di Eropa (Continental stelstel oleh Napoleon), kebobrokan bidang moneter sudah mencapai puncaknya sebagai akibat ketergantungan akan impor perak dari Belanda di masa VOC yang kini terhambat oleh blokade Inggris di Eropa.
Sebelum republik Bataaf mulai berbenah, Inggris mengambil alih pemerintahan di Hindia Belanda.

b.    Pendudukan Inggris (1811-1816)
Inggris berusaha merubah pola pajak hasil bumi yang telah hampir dua abad diterapkan oleh Belanda, dengan menerapkan Landrent (pajak tanah). Sistem ini sudah berhasil di India, dan Thomas Stamford Raffles mengira sistem ini akan berhasil juga di Hindia Belanda. Selain itu, dengan landrent, maka penduduk pribumi akan memiliki uang untuk membeli barang produk Inggris atau yang diimpor dari India. Inilah imperialisme modern yang menjadikan tanah jajahan tidak sekedar untuk dieksplorasi kekayaan alamnya, tapi juga menjadi daerah pemasaran produk dari negara penjajah. Sesuai dengan teori-teori mazhab klasik yang saat itu sedang berkembang di Eropa, antara lain :
1.    Pendapat Adam Smith bahwa tenaga kerja produktif adalah tenaga kerja yang menghasilkan benda konkrit dan dapat dinilai pasar, sedang tenaga kerja tidak produktif menghasilkan jasa dimana tidak menunjang pencapaian pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini, Inggris menginginkan tanah jajahannya juga meningkat kemakmurannya, agar bisa membeli produk-produk yang di Inggris dan India sudah surplus (melebihi permintaan).
2.    Pendapat Adam Smith bahwa salah satu peranan ekspor adalah memperluas pasar bagi produk yang dihasilkan (oleh Inggris) dan peranan penduduk dalam menyerap hasil produksi.
3.    The quantity theory of money bahwa kenaikan maupun penurunan tingkat harga dipengaruhi oleh jumlah uang yang beredar.
Akan tetapi, perubahan yang cukup mendasar dalam perekonomian ini sulit dilakukan, dan bahkan mengalami kegagalan di akhir kekuasaan Inggris yang Cuma seumur jagung di Hindia Belanda. Sebab-sebabnya antara lain :
1.    Masyarakat Hindia Belanda pada umumnya buta huruf dan kurang mengenal uang, apalagi untuk menghitung luas tanah yang kena pajak.
2.    Pegawai pengukur tanah dari Inggris sendiri jumlahnya terlalu sedikit.
3.    Kebijakan ini kurang didukung raja-raja dan para bangsawan, karena Inggris tak mau mengakui suksesi jabatan secara turun-temurun.

c.    Cultuurstelstel
Cultuurstelstel (sistem tanam paksa) mulai diberlakukan pada tahun 1836 atas inisiatif Van Den Bosch. Tujuannya adalah untuk memproduksi berbagai komoditi yang ada permintaannya di pasaran dunia. Sejak saat itu, diperintahkan pembudidayaan produk-produk selain kopi dan rempah-rempah, yaitu gula, nila, tembakau, teh, kina, karet, kelapa sawit, dll. Sistem ini jelas menekan penduduk pribumi, tapi amat menguntungkan bagi Belanda, apalagi dipadukan dengan sistem konsinyasi (monopoli ekspor). Setelah penerapan kedua sistem ini, seluruh kerugian akibat perang dengan Napoleon di Belanda langsung tergantikan berkali lipat. Sistem ini merupakan pengganti sistem landrent dalam rangka memperkenalkan penggunaan uang pada masyarakat pribumi. Masyarakat diwajibkan menanam tanaman komoditas ekspor dan menjual hasilnya ke gudang-gudang pemerintah untuk kemudian dibayar dengan harga yang sudah ditentukan oleh pemerintah.
Cultuurstelstel melibatkan para bangsawan dalam pengumpulannya, antara lain dengan memanfaatkan tatanan politik Mataram--yaitu kewajiban rakyat untuk melakukan berbagai tugas dengan tidak mendapat imbalan--dan memotivasi para pejabat Belanda dengan cultuurprocenten (imbalan yang akan diterima sesuai dengan hasil produksi yang masuk gudang). Bagi masyarakat pribumi, sudah tentu cultuurstelstel amat memeras keringat dan darah mereka, apalagi aturan kerja rodi juga masih diberlakukan. Namun segi positifnya adalah, mereka mulai mengenal tata cara menanam tanaman komoditas ekspor yang pada umumnya bukan tanaman asli Indonesia, dan masuknya ekonomi uang di pedesaan yang memicu meningkatnya taraf hidup mereka. Bagi pemerintah Belanda, ini berarti bahwa masyarakat sudah bisa menyerap barang-barang impor yang mereka datangkan ke Hindia Belanda. Dan ini juga merubah cara hidup masyarakat pedesaan menjadi lebih komersial, tercermin dari meningkatnya jumlah penduduk yang melakukan kegiatan ekonomi nonagraris.
Jelasnya, dengan menerapkan cultuurstelstel, pemerintah Belanda membuktikan teori sewa tanah dari mazhab klasik, yaitu bahwa sewa tanah timbul dari keterbatasan kesuburan tanah. Namun disini, pemerintah Belanda hanya menerima sewanya saja, tanpa perlu mengeluarkan biaya untuk menggarap tanah yang kian lama kian besar. Biaya yang kian besar itu meningkatkan penderitaan rakyat, sesuai teori nilai lebih (Karl Marx), bahwa nilai leih ini meningkatkan kesejahteraan Belanda sebagai kapitalis.
d.    Sistem Ekonomi Pintu Terbuka (Liberal)
Adanya desakan dari kaum Humanis Belanda yang menginginkan perubahan nasib warga pribumi ke arah yang lebih baik, mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk mengubah kebijakan ekonominya. Dibuatlah peraturan-peraturan agraria yang baru, yang antara lain mengatur tentang penyewaan tanah pada pihak swasta untuk jangka 75 tahun, dan aturan tentang tanah yang boleh disewakan dan yang tidak boleh. Hal ini nampaknya juga masih tak lepas dari teori-teori mazhab klasik, antara lain terlihat pada:
1.    Keberadaan pemerintah Hindia Belanda sebagai tuan tanah, pihak swasta yang mengelola perkebunan swasta sebagai golongan kapitalis, dan masyarakat pribumi sebagai buruh penggarap tanah.
2.    Prinsip keuntungan absolut : Bila di suatu tempat harga barang berada diatas ongkos tenaga kerja yang dibutuhkan, maka pengusaha memperoleh laba yang besar dan mendorong mengalirnya faktor produksi ke tempat tersebut.
3.    Laissez faire laissez passer, perekonomian diserahkan pada pihak swasta, walau jelas, pemerintah Belanda masih memegang peran yang besar sebagai penjajah yang sesungguhnya.
Pada akhirnya, sistem ini bukannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat pribumi, tapi malah menambah penderitaan, terutama bagi para kuli kontrak yang pada umumnya tidak diperlakukan layak.
e.    Pendudukan Jepang (1942-1945)
Pemerintah militer Jepang menerapkan suatu kebijakan pengerahan sumber daya ekonomi mendukung gerak maju pasukan Jepang dalam perang Pasifik. Sebagai akibatnya, terjadi perombakan besar-besaran dalam struktur ekonomi masyarakat. Kesejahteraan rakyat merosot tajam dan terjadi bencana kekurangan pangan, karena produksi bahan makanan untuk memasok pasukan militer dan produksi minyak jarak untuk pelumas pesawat tempur menempati prioritas utama. Impor dan ekspor macet, sehingga terjadi kelangkaan tekstil yang sebelumnya didapat dengan jalan impor.
Seperti ini lah sistem sosialis ala bala tentara Dai Nippon. Segala hal diatur oleh pusat guna mencapai kesejahteraan bersama yang diharapkan akan tercapai seusai memenangkan perang Pasifik.
  
BAB III
PENUTUP
Indonesia terletak di posisi geografis antara benua Asia dan Eropa serta samudra Pasifik dan Hindia, sebuah posisi yang strategis dalam jalur pelayaran niaga antar benua. Salah satu jalan sutra, yaitu jalur sutra laut, ialah dari Tiongkok dan Indonesia, melalui selat Malaka ke India. Dari sini ada yang ke teluk Persia, melalui Suriah ke laut Tengah, ada yang ke laut Merah melalui Mesir dan sampai juga ke laut Tengah (Van Leur). Perdagangan laut antara India, Tiongkok, dan Indonesia dimulai pada abad pertama sesudah masehi, demikian juga hubungan Indonesia dengan daerah-daerah di Barat (kekaisaran Romawi).
Kejayaan suatu negeri dinilai dari luasnya wilayah, penghasilan per tahun, dan ramainya pelabuhan.Hal itu disebabkan, kekuasaan dan kekayaan kerajaan-kerajaan di Sumatera bersumber dari perniagaan, sedangkan di Jawa, kedua hal itu bersumber dari pertanian dan perniagaan. Di masa pra kolonial, pelayaran niaga lah yang cenderunglebih dominan. Namun dapat dikatakan bahwa di Indonesia secara keseluruhan, pertanian dan perniagaan sangat berpengaruh dalam perkembangan perekonomian Indonesia, bahkan hingga saat ini.


DAFTAR PUSTAKA
Ø  Buku modul mata kuliah Sejarah Pemikiran Ekonomi
Creutzberg, Pieter, dan JTM Van Laanen. 1987.
Ø  Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia. Yayasan Obor Indonesia:Jakarta.
Leirissa, RZ, GA Ohorella, dan Yuda B. Tangkilisan.1996.
Ø  Sejarah Perekonomian Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI:Jakarta.
Ø  Mustopo, M.Habib, dkk. 2005. Sejarah 3. Yudhistira:Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar