Kelas
: 1EB22
Nama kelompok:
1.
Annisa
Zahra (21213168)
2.
Dewi Nur Hayati (22213295)
3.
Firdina
Fildzza (23213502)
4.
Vinny
Juwanti (29213159)
BAB I
PENDAHULUAN
Memang ada sedikit
perbedaan yang cukup menjadi perhatian kita mengenai sejarah sosial dan sejarah
politik di Indonesia dibandingkan dengan sejarah perekonomian Indonesia pada
masa silam. Perbedaan itu terlihat dari kurangnya para peneliti ekonomi dan
sejarahwan dalam mempelajari sejarah ekonomi khususnya pada masa kolonial
Belanda. Padahal di negara-negara bagian Asia Selatan banyak sekali dilakukan
penelitian mengenai pengaruh kekuasaan kolonial Belanda terhadap situasi
ekonomi di saat mereka masih berkuasa di beberapa negara tersebut.
Sebagai contoh di negara
India. Menurut berbagai laporan penelitian dalam hal sejarah perekonomian
India, ternyata kebijakan-kebijakan di India saat ini banyak juga dipengaruhi oleh
hasil studi ekonomi pada saat Belanda masih menguasai India. Ternyata terdapat
berbagai dampak positif dari hasil penerapan menurut hasil penelitian
tersebut. Mungkin ini bisa menjadi
contoh bagi bangsa kita.
BAB II
ISI
1. Kehidupan Politik Ekonomi masa Penjajahan Belanda
Saat Hindia Belanda
dipegang oleh tiga komisaris jenderal, kondisi keuangannya sangat merosot.
Selain kebangkrutan VOC, juga karena adanya pengeluaran yang besar untuk
menghadapi Perang Diponegoro dan Perang Padri. Permasalahan yang dihadapi
Belanda semakin rumit setelah Belgia yang menjadi saka guru industrinya
memisahkan diri pada tahun 1830. Lalu, apa dampak yang muncul di Hindia
Belanda?
Tugas untuk mengatasi
kesulitan perekonomian Belanda itu diberikan kepada Johannes van den Bosch. Ia
diangkat menjadi gubernur jenderal Hindia Belanda dengan target untuk
meningkatkan penerimaan negara dan mengatasi masalah keuangan. Salah satu
kebijakannya yang terkenal adalah sistem tanam yang kemudian dikenal dengan
tanam paksa (cultuurstelsel).
Daendels mewajibkan rakyat untuk membayar pajak dalam bentuk hasil pertanian
(inatura) seperti kopi, tebu, dan nila. Sasarannya adalah Hindia Belanda bisa
mengekspornya ke Belanda untuk kemudian dijual ke Amerika.
Inti sari konsep Daendels
adalah menjadikan tanah jajahan sebagai tempat mengambil keuntungan bagi negeri
induk. Konsep itu didasarkan atas dua konsep yaitu wajib atau paksa dan
monopoli. Prinsip pertama pernah diterapkan VOC dalam bentuk verplichte leveranties (penyerahan
wajib) yang dikembangkan Daendels menjadi Preanger-Stelsel.
Penerapan sistem ini sangat membutuhkan perantara yang berasal dari penguasa
tradisional di daerah dan organisasi desa. Prinsip kedua diterapkan dengan
memberikan hak monopoli kepada Nederlandsche
Handels Maatschappij untuk mengurusi produksi pengangkutan dan
perdagangan hasil ekspor Jawa. Lalu, bagaimana dampak penerapan kedua prinsip
itu?
a. Kehidupan Ekonomi
Apabila cultuurstelsel itu
dilaksanakan dengan baik sesuai konsep, tidak terlalu membebani kehidupan
rakyat. Tetapi dalam praktiknya banyak terjadi penyimpangan. Mengapa? van den
Bosch menawarkan iming-iming atau perangsang bahwa para bupati, pegawai
Belanda, dan kapala desa akan mendapatkan culture
procenten yaitu bagian dari tanaman yang disetor sebagai bonus
selain pendapatan yang biasa diterima. Sesuai ketentuan cultuurstelsel, rakyat
diharuskan menyediakan sebagian tanahnya untuk ditanami tanaman ekspor, luasnya
tidak lebih dari 1/5, waktu pemeliharaan tanaman tidak lebih dari masa tanam
padi, tanah tersebut bebas pajak, sisa hasil bumi di luar pajak diberikan
kepada petani, dan gagal panen ditanggung pemerintah. Ketentuan ini dengan
mudah dilanggar karena adanya culture
procenten dan desakan kepentingan penguasa kolonial.
Selain harus kerja rodi,
petani juga kehilangan tanah-tanah suburnya, membayar gagal panen, dan kehilangan
sumber daya yang bisa memberinya penghasilan. Pada masa ini kehidupan rakyat
diliputi suasana penderitaan dan kesengsaraan. Wabah kelaparan pun menjangkiti
rakyat Cirebon (1844), Demak (1848), dan Grobogan (1849). Sebaliknya, para
bupati dan aparat lokal bisa memperoleh bonus untuk memperkaya diri. Mereka
yang semestinya menjadi perantara kebijakan berubah menjadi bagian dari
penguasa yang menekan dan memaksa rakyat. Tidak aneh apabila para bupati juga
berperan sebagai mandor.
b. Kehidupan Politik
Kehidupan politik di
Hindia Belanda pada periode sistem tanam paksa adalah membuat kebijakan yang
bisa menyelamatkan krisis yang melanda negeri Belanda. Para bupati dan
bangsawan diberi kekuasaan yang lebih untuk bisa membantu program pemerintah.
Para bupati tersebut semakin berkuasa karena juga mempunyai kepentingan pribadi
untuk mendapatkan keuntungan yang lebih. Kebijakan tersebut menyebabkan jumlah
pegawai kolonial bertambah banyak. Peran bupati yang tidak lebih dari sekadar
mandor pemerintah itu ternyata justru mengurangi wibawanya di mata rakyat dan
struktur di bawahnya.
Organisasi desa yang
semula mempunyai ikatan yang kuat berubah menjadi kepanjangan tangan pemerintah
kolonial. Karena, dari desalah seluruh pungutan pemerintah dari masyarakat bisa
dilaksanakan. Penetrasi kekuasaan kolonial ke dalam organisasi desa sebetulnya
membawa perubahan tetapi di sisi yang lain juga memperkuat kekuasaan
tradisional dari kepala desa. Dampaknya adalah rakyat menghadapi dua bentuk
penjajahan yaitu dari pemerintah kolonial dan dari penguasa lokal sejak raja,
bupati/adipati, hingga bekel/kepala desa.
Mobilisasi yang
dilaksanakan oleh pemerintah kolonial itu ternyata efektif untuk mengeruk
keuntungan dan merekonstruksi perekonomian Belanda. Hanya saja, penyimpangan
yang terjadi di dalam pelaksanaan cultuurstelsel
itu juga membawa reaksi dari berbagai kalangan. Kecaman datang dari
oposisi kolonial yang dipelopori oleh van Hoevell dan disusul oleh Douwes
Dekker.Fakta menyebutkan bahwa pelaksanaan cultuurstelsel
jelas mengeksploitasi penduduk pribumi baik tenaga maupun tanahnya.
Tanah-tanah yang semula milik pribadi harus lepas ke tangan swasta agar bisa
ditanami.
Dampak dari munculnya
kecaman itu adalah dihapuskannya secara bertahap beberapa jenis tanaman seperti
nila, teh, dan kayu manis pada tahun 1865. Tanaman tersebut memang kurang
memberi keuntungan pada pemerintah kolonial. Namun, secara berturut-turut
beberapa tanaman juga mulai dihapus seperti tembakau (1866), tebu (1884), dan
kopi (1916). Cultuurstelsel mulai
dihapus karena berhasil menutup defisit dan meningkatkan kemakmuran bangsa
Belanda.
Meskipun menyisakan
penderitaan bagi rakyat, namun cultuurstelsel
juga meninggalkan beragam prasarana yang bermanfaat bagi rakyat.
Selain mengenalkan beragam jenis tanaman baru, pemerintah kolonial juga telah
membangun jaringan transportasi kereta api, komunikasi, dan prasarana
perkotaan. Kota-kota yang telah berdiri sejak abad XIX tidak hanya menjadi
pusat perdagangan tetapi juga pemerintahan dengan segala kemudahan dan
pelayanan. Beragam kekuatan sosial, politik, dan kebudayaan yang ada di kota
memancing adanya urbanisasi dan perubahan sosial.
Kehidupan rakyat mulai
sedikit diperhatikan setelah kelompok etis Belanda mengusulkan perbaikan
kehidupan. Hal ini mereka tempuh setelah melihat keuntungan yang diraih Belanda
dan penderitaan yang dialami rakyat. Tidak aneh apabila pada akhir abad XIX
mulai bermunculan sekolah untuk rakyat. Meskipun semula hanya untuk memenuhi
kepentingan pemerintah (birokrasi dan perkebunan) serta swasta kolonial, namun
dalam jangka panjang hal itu memperluas terjadinya mobilitas sosial. Banyak
siswa yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia yang bertemu di kota-kota
besar untuk mengikuti pendidikan kolonial.
Sistem pendidikan yang
diadakan pemerintah kolonial itu ternyata justru melahirkan kelompok elite baru
yaitu bangsawan terdidik pada awal abad XX. Kelompok inilah yang menjadi
peletak dasar kebangkitan nasional. Melalui sekolah-sekolah seperti OSVIA dan STOVIA, para pelajar bisa
mengenal bahasa Belanda dan membuka wawasan mengenai beragam masalah
kebangsaan. Kesadaran untuk hidup berbangsa pun mulai masuk ke dalam dada para
pelajar. Benih nasionalisme yang mulai tumbuh lalu diaktualisasikan dalam
bentuk organisasi pergerakan. Pada masa inilah, identitas keindonesiaan mulai
terbentuk dan menggantikan ikatan-ikatan tradisional.
2. Kehidupan Politik Ekonomi masa Orde Lama
a.
Masa
Pasca Kemerdekaan (1945-1950)
Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat
buruk, antara lain disebabkan oleh :
1.
Inflasi yang sangat tinggi,
disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali.
Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang
yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah
Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang. Kemudian pada tanggal 6 Maret
1946, Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands East Indies/pasukan sekutu)
mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada
bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI
(Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang Jepang. Berdasarkan teori
moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar mempengaruhi kenaikan tingkat
harga.
2.
Adanya blokade ekonomi oleh
Belanda, sejak
bulan November 1945 untuk menutup pintu perdagangan luar negri RI.
3. Kas negara kosong.
4.
Eksploitasi besar-besaran di masa
penjajahan.
Usaha-usaha
yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain:
1. Program
Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman dengan
persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946.
2. Upaya
menembus blokade dengan diplomasi beras ke India, mangadakan kontak dengan
perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan
ke Singapura dan Malaysia.
3. Konferensi
Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat
dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah
produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi
perkebunan-perkebunan.
4. Pembentukan
Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947
5. Rekonstruksi
dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948 >>mengalihkan tenaga bekas
angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
6. Kasimo
Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa petunjuk
pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan, diharapkan perekonomian
akan membaik (Mazhab Fisiokrat : sektor pertanian merupakan sumber kekayaan).
b.
Masa
Demokrasi Liberal (1950-1957)
Masa ini disebut masa liberal, karena dalam politik
maupun sistem ekonominya menggunakan prinsip-prinsip liberal. Perekonomian
diserahkan pada pasar sesuai teori-teori mazhab klasik yang menyatakan laissez
faire laissez passer. Padahal pengusaha pribumi masih lemah dan belum bisa
bersaing dengan pengusaha nonpribumi, terutama pengusaha Cina. Pada akhirnya
sistem ini hanya memperburuk kondisi perekonomian Indonesia yang baru merdeka.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah
ekonomi, antara lain:
1. Gunting
Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret 1950, untuk
mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga turun.
2. Program
Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menunbuhkan wiraswastawan pribumi dan
mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing
dengan membatasi impor barang tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya
pada importir pribumi serta memberikan kredit pada perusahaan-perusahaan
pribumi agar nantinya dapat berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional.
Namun usaha ini gagal, karena sifat pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif
dan tak bisa bersaing dengan pengusaha non-pribumi.
3. Nasionalisasi
De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951 lewat UU no.24 th
1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi.
4. Sistem
ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak
Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha cina dan
pengusaha pribumi. Pengusaha non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan
pada pengusaha pribumi, dan pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi
usaha-usaha swasta nasional. Program ini tidak berjalan dengan baik, karena
pengusaha pribumi kurang berpengalaman, sehingga hanya dijadikan alat untuk
mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.
5. Pembatalan
sepihak atas hasil-hasil KMB, termasuk pembubaran Uni Indonesia-Belanda.
Akibatnya banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya sedangkan
pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa mengambil alih perusahaan-perusahaan
tersebut.
c.
Masa
Demokrasi Terpimpin (1959-1967)
Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka
Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia
menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan
sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam
sosial, politik,dan ekonomi (Mazhab Sosialisme). Akan tetapi,
kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini belum mampu
memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia, antara lain :
1. Devaluasi
yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang sebagai berikut :Uang
kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000 menjadi Rp
100, dan semua simpanan di bank yang melebihi 25.000 dibekukan.
2. Pembentukan
Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia
dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi
perekonomian Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga barang-barang naik 400%.
3. Devaluasi
yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi Rp
1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah
lama, tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih
tinggi. Maka tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah
meningkatkan angka inflasi.
Kegagalan-kegagalan dalam berbagai tindakan moneter itu
diperparah karena pemerintah tidak menghemat pengeluaran-pengeluarannya. Pada
masa ini banyak proyek-proyek mercusuar yang dilaksanakan pemerintah, dan juga
sebagai akibat politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara Barat.
Sekali lagi, ini juga salahsatu konsekuensi dari pilihan menggunakan sistem
demokrasi terpimpin yang bisa diartikan bahwa Indonesia berkiblat ke Timur
(sosialis) baik dalam politik, eonomi, maupun bidang-bidang lain.
3. Kehidupan Politik Ekonomi masa Orde Baru
Pada awal orde baru, stabilisasi ekonomi dan stabilisasi
politik menjadi prioritas utama. Program pemerintah berorientasi pada usaha pengendalian
inflasi, penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat.
Pengendalian inflasi mutlak dibutuhkan, karena pada awal 1966 tingkat inflasi
kurang lebih 650 % per tahun. Setelah melihat pengalaman masa lalu, dimana
dalam sistem ekonomi liberal ternyata pengusaha pribumi kalah bersaing dengan
pengusaha nonpribumi dan sistem etatisme tidak memperbaiki keadaan, maka
dipilihlah sistem ekonomi campuran dalam kerangka sistem ekonomi demokrasi
pancasila. Ini merupakan praktek dari salahsatu teori Keynes tentang campur
tangan pemerintah dalam perekonomian secara terbatas.
Jadi, dalam kondisi-kondisi dan masalah-masalah tertentu,
pasar tidak dibiarkan menentukan sendiri. Misalnya dalam penentuan UMR dan
perluasan kesempatan kerja. Ini adalah awal era Keynes di Indonesia.
Kebijakan-kebijakan pemerintah mulai berkiblat pada teori-teori Keynesian.
Kebijakan ekonominya diarahkan pada pembangunan di segala
bidang, tercermin dalam 8 jalur pemerataan, yaitu:
1. Kebutuhan pokok
2. Pendidikan dan kesehatan
3. Pembagian pendapatan
4. Kesempatan kerja
5. Kesempatan berusaha
6. Partisipasi wanita dan generasi muda
7. Penyebaran pembangunan
8. Peradilan.
Semua itu dilakukan dengan pelaksanaan pola umum
pembangunan jangka panjang (25-30 tahun) secara periodik lima tahunan yang disebut
Pelita (Pembangunan lima tahun). Hasilnya,
pada tahun 1984 Indonesia berhasil swasembada beras, penurunan angka
kemiskinan, perbaikan indikator kesejahteraan rakyat seperti angka partisipasi
pendidikan dan penurunan angka kematian bayi, dan industrialisasi yang
meningkat pesat. Pemerintah juga berhasil menggalakkan preventive checks untuk
menekan jumlah kelahiran lewat KB dan pengaturan usia minimum orang yang akan
menikah.
Namun dampak negatifnya adalah kerusakan serta pencemaran lingkungan hidup dan sumber-sumber daya alam, perbedaan ekonomi antar daerah, antar golongan pekerjaan dan antar kelompok dalam masyarakat terasa semakin tajam, serta penumpukan utang luar negeri.
Namun dampak negatifnya adalah kerusakan serta pencemaran lingkungan hidup dan sumber-sumber daya alam, perbedaan ekonomi antar daerah, antar golongan pekerjaan dan antar kelompok dalam masyarakat terasa semakin tajam, serta penumpukan utang luar negeri.
Disamping itu, pembangunan menimbulkan konglomerasi dan
bisnis yang sarat korupsi, kolusi dan nepotisme. Pembangunan hanya mengutamakan
pertumbuhan ekonomi tanpa diimbangi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang
adil. Sehingga meskipun berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tapi secara
fundamental pembangunan nasional sangat rapuh. Akibatnya, ketika terjadi krisis
yang merupakan imbas dari ekonomi global, Indonesia merasakan dampak yang
paling buruk. Harga-harga meningkat secara drastis, nilai tukar rupiah melemah
dengan cepat, dan menimbulkan berbagai kekacauan di segala bidang, terutama
ekonomi.
4. Kehidupan Politik Ekonomi masa Reformasi
Pemerintahan presiden BJ.Habibie yang mengawali masa
reformasi belum melakukan manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang
ekonomi. Kebijakan-kebijakannya diutamakan untuk mengendalikan stabilitas
politik. Pada masa kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid pun, belum ada
tindakan yang cukup berarti untuk menyelamatkan negara dari keterpurukan.
Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi yang diwariskan orde baru harus
dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), pemulihan
ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs rupiah.
Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang menjatuhkan kredibilitasnya di
mata masyarakat. Akibatnya, kedudukannya digantikan oleh presiden Megawati.
a.
Masa
kepemimpinan Megawati Soekarnoputri
Masalah-masalah yang mendesak untuk dipecahkan adalah
pemulihan ekonomi dan penegakan hukum. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk
mengatasi persoalan-persoalan ekonomi antara lain :
1. Meminta
penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club
ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.
2. Kebijakan
privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam periode
krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi
kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu
berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan
ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke
perusahaan asing.
Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi
Pemberantasan Korupsi), tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan
korupsi. Padahal keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali
untuk menanamkan modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya pembangunan
nasional.
b.
Masa
Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono
Kebijakan kontroversial pertama presiden Yudhoyono adalah
mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan
ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM
dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang
mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan
kontroversial kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin.
Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan
berbagai masalah sosial.Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan
perkapita adalah mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki
iklim investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure
Summit pada bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan
kepala-kepala daerah.
Menurut Keynes, investasi merupakan faktor utama untuk
menentukan kesempatan kerja. Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang
selalu ditujukan untuk memberi kemudahan bagi investor, terutama investor
asing, yang salahsatunya adalah revisi undang-undang ketenagakerjaan. Jika
semakin banyak investasi asing di Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja
juga akan bertambah.
Pada pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang pada IMF sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negri. Namun wacana untuk berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat, setelah keluarnya laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena pengucuran kredit perbankan ke sector riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka menyimpan dana di SBI), sehingga kinerja sector riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi. Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental, sehingga menyebabkan kecilnya realisasi belanja Negara dan daya serap, karena inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya mengundang investor dari luar negri, tapi di lain pihak, kondisi dalam negri masih kurang kondusif.
Pada pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang pada IMF sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negri. Namun wacana untuk berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat, setelah keluarnya laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena pengucuran kredit perbankan ke sector riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka menyimpan dana di SBI), sehingga kinerja sector riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi. Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental, sehingga menyebabkan kecilnya realisasi belanja Negara dan daya serap, karena inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya mengundang investor dari luar negri, tapi di lain pihak, kondisi dalam negri masih kurang kondusif.
Analisa
Sejarah Perekonomian Indonesia
Seusai masa kerajaan-kerajaan Islam, pembabakan
perjalanan perekonomian Indonesia dapat dibagi dalam empat masa, yaitu masa
sebelum kemerdekaan, orde lama, orde baru, dan masa reformasi.
1.
SEBELUM
KEMERDEKAAN
Sebelum merdeka, Indonesia mengalami masa penjajahan yang
terbagi dalam beberapa periode. Ada empat negara yang pernah menduduki
Indonesia, yaitu Portugis, Belanda,Inggris, dan Jepang. Portugis tidak meninggalkan jejak yang
mendalam di Indonesia karena keburu diusir oleh Belanda, tapi Belanda yang
kemudian berkuasa selama sekitar 350 tahun, sudah menerapkan berbagai sistem
yang masih tersisa hingga kini. Untuk menganalisa sejarah perekonomian
Indonesia, rasanya perlu membagi masa pendudukan Belanda menjadi beberapa
periode, berdasarkan perubahan-perubahan kebijakan yang mereka berlakukan di
Hindia Belanda (sebutan untuk Indonesia saat itu).
a.
Vereenigde
Oost-Indische Compagnie (VOC)
Belanda yang saat itu menganut paham Merkantilis
benar-benar menancapkan kukunya di Hindia Belanda. Belanda melimpahkan wewenang
untuk mengatur Hindia Belanda kepada VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie),
sebuah perusahaan yang didirikan dengan tujuan untuk menghindari persaingan
antar sesama pedagang Belanda, sekaligus untuk menyaingi perusahaan imperialis lain
seperti EIC (Inggris).
Untuk mempermudah aksinya di Hindia Belanda, VOC diberi hak Octrooi, yang antara lain meliputi :
Untuk mempermudah aksinya di Hindia Belanda, VOC diberi hak Octrooi, yang antara lain meliputi :
1. Hak
mencetak uang
2. Hak
mengangkat dan memberhentikan pegawai
3. Hak
menyatakan perang dan damai
4. Hak
untuk membuat angkatan bersenjata sendiri
5. Hak
untuk membuat perjanjian dengan raja-raja
Hak-hak itu seakan melegalkan keberadaan VOC sebagai
“penguasa” Hindia Belanda. Namun walau demikian, tidak berarti bahwa seluruh
ekonomi Nusantara telah dikuasai VOC. Kenyataannya,
sejak tahun 1620, VOC hanya menguasai komoditi-komoditi ekspor sesuai
permintaan pasar di Eropa, yaitu rempah-rempah. Kota-kota dagang dan
jalur-jalur pelayaran yang dikuasainya adalah untuk menjamin monopoli atas
komoditi itu. VOC juga belum membangun sistem pasokan kebutuhan-kebutuhan hidup
penduduk pribumi. Peraturan-peraturan yang ditetapkan VOC seperti verplichte
leverentie (kewajiban meyerahkan hasil bumi pada VOC ) dan contingenten (pajak
hasil bumi) dirancang untuk mendukung monopoli itu. Disamping itu, VOC juga
menjaga agar harga rempah-rempah tetap tinggi, antara lain dengan diadakannya
pembatasan jumlah tanaman rempah-rempah yang boleh ditanam penduduk, pelayaran
Hongi dan hak extirpatie (pemusnahan tanaman yang jumlahnya melebihi
peraturan). Semua aturan itu pada umumnya hanya diterapkan di Maluku yang
memang sudah diisolasi oleh VOC dari pola pelayaran niaga samudera Hindia.
Dengan memonopoli rempah-rempah, diharapkan VOC akan
menambah isi kas negri Belanda, dan dengan begitu akan meningkatkan pamor dan
kekayaan Belanda. Disamping itu juga diterapkan Preangerstelstel, yaitu
kewajiban menanam tanaman kopi bagi penduduk Priangan. Bahkan ekspor kopi di
masa itu mencapai 85.300 metrik ton, melebihi ekspor cengkeh yang Cuma 1.050
metrik ton. Namun, berlawanan dengan
kebijakan merkantilisme Perancis yang melarang ekspor logam mulia, Belanda
justru mengekspor perak ke Hindia Belanda untuk ditukar dengan hasil bumi.
Karena selama belum ada hasil produksi Eropa yang dapat ditawarkan sebagai
komoditi imbangan,ekspor perak itu tetap perlu dilakukan. Perak tetap digunakan
dalam jumlah besar sebagai alat perimbangan dalam neraca pembayaran sampai
tahun 1870-an.
Pada tahun 1795, VOC bubar karena dianggap gagal dalam mengeksplorasi kekayaan Hindia Belanda. Kegagalan itu nampak pada defisitnya kas VOC, yang antara lain disebabkan oleh :
Pada tahun 1795, VOC bubar karena dianggap gagal dalam mengeksplorasi kekayaan Hindia Belanda. Kegagalan itu nampak pada defisitnya kas VOC, yang antara lain disebabkan oleh :
1. Peperangan
yang terus-menerus dilakukan oleh VOC dan memakan biaya besar, terutama perang
Diponegoro.
2. Penggunaan
tentara sewaan membutuhkan biaya besar.
3. Korupsi
yang dilakukan pegawai VOC sendiri.
4. Pembagian
dividen kepada para pemegang saham, walaupun kas defisit.
Maka, VOC diambil-alih (digantikan) oleh republik Bataaf (Bataafsche Republiek). Republik Bataaf dihadapkan pada suatu sistem keuangan yang kacau balau. Selain karena peperangan sedang berkecamuk di Eropa (Continental stelstel oleh Napoleon), kebobrokan bidang moneter sudah mencapai puncaknya sebagai akibat ketergantungan akan impor perak dari Belanda di masa VOC yang kini terhambat oleh blokade Inggris di Eropa.
Sebelum republik Bataaf mulai berbenah, Inggris mengambil alih pemerintahan di Hindia Belanda.
Maka, VOC diambil-alih (digantikan) oleh republik Bataaf (Bataafsche Republiek). Republik Bataaf dihadapkan pada suatu sistem keuangan yang kacau balau. Selain karena peperangan sedang berkecamuk di Eropa (Continental stelstel oleh Napoleon), kebobrokan bidang moneter sudah mencapai puncaknya sebagai akibat ketergantungan akan impor perak dari Belanda di masa VOC yang kini terhambat oleh blokade Inggris di Eropa.
Sebelum republik Bataaf mulai berbenah, Inggris mengambil alih pemerintahan di Hindia Belanda.
b.
Pendudukan
Inggris (1811-1816)
Inggris berusaha merubah pola pajak hasil bumi yang telah
hampir dua abad diterapkan oleh Belanda, dengan menerapkan Landrent (pajak
tanah). Sistem ini sudah berhasil di India, dan Thomas Stamford Raffles mengira
sistem ini akan berhasil juga di Hindia Belanda. Selain itu, dengan landrent,
maka penduduk pribumi akan memiliki uang untuk membeli barang produk Inggris
atau yang diimpor dari India. Inilah imperialisme modern yang menjadikan tanah
jajahan tidak sekedar untuk dieksplorasi kekayaan alamnya, tapi juga menjadi
daerah pemasaran produk dari negara penjajah. Sesuai dengan teori-teori mazhab
klasik yang saat itu sedang berkembang di Eropa, antara lain :
1. Pendapat
Adam Smith bahwa tenaga kerja produktif adalah tenaga kerja yang menghasilkan
benda konkrit dan dapat dinilai pasar, sedang tenaga kerja tidak produktif
menghasilkan jasa dimana tidak menunjang pencapaian pertumbuhan ekonomi. Dalam
hal ini, Inggris menginginkan tanah jajahannya juga meningkat kemakmurannya,
agar bisa membeli produk-produk yang di Inggris dan India sudah surplus
(melebihi permintaan).
2. Pendapat
Adam Smith bahwa salah satu peranan ekspor adalah memperluas pasar bagi produk
yang dihasilkan (oleh Inggris) dan peranan penduduk dalam menyerap hasil
produksi.
3. The
quantity theory of money bahwa kenaikan maupun penurunan tingkat harga
dipengaruhi oleh jumlah uang yang beredar.
Akan tetapi, perubahan yang cukup mendasar dalam
perekonomian ini sulit dilakukan, dan bahkan mengalami kegagalan di akhir
kekuasaan Inggris yang Cuma seumur jagung di Hindia Belanda. Sebab-sebabnya
antara lain :
1. Masyarakat
Hindia Belanda pada umumnya buta huruf dan kurang mengenal uang, apalagi untuk
menghitung luas tanah yang kena pajak.
2. Pegawai
pengukur tanah dari Inggris sendiri jumlahnya terlalu sedikit.
3. Kebijakan
ini kurang didukung raja-raja dan para bangsawan, karena Inggris tak mau
mengakui suksesi jabatan secara turun-temurun.
c.
Cultuurstelstel
Cultuurstelstel (sistem tanam paksa) mulai diberlakukan
pada tahun 1836 atas inisiatif Van Den Bosch. Tujuannya adalah untuk
memproduksi berbagai komoditi yang ada permintaannya di pasaran dunia. Sejak
saat itu, diperintahkan pembudidayaan produk-produk selain kopi dan rempah-rempah,
yaitu gula, nila, tembakau, teh, kina, karet, kelapa sawit, dll. Sistem ini
jelas menekan penduduk pribumi, tapi amat menguntungkan bagi Belanda, apalagi
dipadukan dengan sistem konsinyasi (monopoli ekspor). Setelah penerapan kedua
sistem ini, seluruh kerugian akibat perang dengan Napoleon di Belanda langsung
tergantikan berkali lipat. Sistem
ini merupakan pengganti sistem landrent dalam rangka memperkenalkan penggunaan
uang pada masyarakat pribumi. Masyarakat diwajibkan menanam tanaman komoditas
ekspor dan menjual hasilnya ke gudang-gudang pemerintah untuk kemudian dibayar
dengan harga yang sudah ditentukan oleh pemerintah.
Cultuurstelstel melibatkan para bangsawan dalam
pengumpulannya, antara lain dengan memanfaatkan tatanan politik Mataram--yaitu
kewajiban rakyat untuk melakukan berbagai tugas dengan tidak mendapat
imbalan--dan memotivasi para pejabat Belanda dengan cultuurprocenten (imbalan
yang akan diterima sesuai dengan hasil produksi yang masuk gudang). Bagi masyarakat pribumi, sudah tentu cultuurstelstel
amat memeras keringat dan darah mereka, apalagi aturan kerja rodi juga masih
diberlakukan. Namun segi positifnya adalah, mereka mulai mengenal tata cara
menanam tanaman komoditas ekspor yang pada umumnya bukan tanaman asli
Indonesia, dan masuknya ekonomi uang di pedesaan yang memicu meningkatnya taraf
hidup mereka. Bagi pemerintah Belanda, ini berarti bahwa masyarakat sudah bisa
menyerap barang-barang impor yang mereka datangkan ke Hindia Belanda. Dan ini
juga merubah cara hidup masyarakat pedesaan menjadi lebih komersial, tercermin
dari meningkatnya jumlah penduduk yang melakukan kegiatan ekonomi nonagraris.
Jelasnya, dengan menerapkan cultuurstelstel, pemerintah
Belanda membuktikan teori sewa tanah dari mazhab klasik, yaitu bahwa sewa tanah
timbul dari keterbatasan kesuburan tanah. Namun disini, pemerintah Belanda
hanya menerima sewanya saja, tanpa perlu mengeluarkan biaya untuk menggarap
tanah yang kian lama kian besar. Biaya yang kian besar itu meningkatkan
penderitaan rakyat, sesuai teori nilai lebih (Karl Marx), bahwa nilai leih ini
meningkatkan kesejahteraan Belanda sebagai kapitalis.
d.
Sistem
Ekonomi Pintu Terbuka (Liberal)
Adanya desakan dari kaum Humanis Belanda yang
menginginkan perubahan nasib warga pribumi ke arah yang lebih baik, mendorong pemerintah
Hindia Belanda untuk mengubah kebijakan ekonominya. Dibuatlah
peraturan-peraturan agraria yang baru, yang antara lain mengatur tentang
penyewaan tanah pada pihak swasta untuk jangka 75 tahun, dan aturan tentang
tanah yang boleh disewakan dan yang tidak boleh. Hal ini nampaknya juga masih
tak lepas dari teori-teori mazhab klasik, antara lain terlihat pada:
1. Keberadaan
pemerintah Hindia Belanda sebagai tuan tanah, pihak swasta yang mengelola
perkebunan swasta sebagai golongan kapitalis, dan masyarakat pribumi sebagai
buruh penggarap tanah.
2. Prinsip
keuntungan absolut : Bila di suatu tempat harga barang berada diatas ongkos
tenaga kerja yang dibutuhkan, maka pengusaha memperoleh laba yang besar dan
mendorong mengalirnya faktor produksi ke tempat tersebut.
3. Laissez
faire laissez passer, perekonomian diserahkan pada pihak swasta, walau jelas,
pemerintah Belanda masih memegang peran yang besar sebagai penjajah yang
sesungguhnya.
Pada akhirnya, sistem ini bukannya meningkatkan
kesejahteraan masyarakat pribumi, tapi malah menambah penderitaan, terutama
bagi para kuli kontrak yang pada umumnya tidak diperlakukan layak.
e. Pendudukan
Jepang (1942-1945)
Pemerintah militer Jepang menerapkan suatu kebijakan
pengerahan sumber daya ekonomi mendukung gerak maju pasukan Jepang dalam perang
Pasifik. Sebagai akibatnya, terjadi perombakan besar-besaran dalam struktur
ekonomi masyarakat. Kesejahteraan rakyat merosot tajam dan terjadi bencana
kekurangan pangan, karena produksi bahan makanan untuk memasok pasukan militer
dan produksi minyak jarak untuk pelumas pesawat tempur menempati prioritas
utama. Impor dan ekspor macet, sehingga terjadi kelangkaan tekstil yang
sebelumnya didapat dengan jalan impor.
Seperti ini lah sistem sosialis ala bala tentara Dai Nippon. Segala hal diatur oleh pusat guna mencapai kesejahteraan bersama yang diharapkan akan tercapai seusai memenangkan perang Pasifik.
Seperti ini lah sistem sosialis ala bala tentara Dai Nippon. Segala hal diatur oleh pusat guna mencapai kesejahteraan bersama yang diharapkan akan tercapai seusai memenangkan perang Pasifik.
BAB III
PENUTUP
Indonesia terletak di posisi geografis antara benua Asia
dan Eropa serta samudra Pasifik dan Hindia, sebuah posisi yang strategis dalam
jalur pelayaran niaga antar benua. Salah satu jalan sutra, yaitu jalur sutra
laut, ialah dari Tiongkok dan Indonesia, melalui selat Malaka ke India. Dari
sini ada yang ke teluk Persia, melalui Suriah ke laut Tengah, ada yang ke laut
Merah melalui Mesir dan sampai juga ke laut Tengah (Van Leur). Perdagangan laut
antara India, Tiongkok, dan Indonesia dimulai pada abad pertama sesudah masehi,
demikian juga hubungan Indonesia dengan daerah-daerah di Barat (kekaisaran
Romawi).
Kejayaan suatu negeri dinilai dari luasnya wilayah,
penghasilan per tahun, dan ramainya pelabuhan.Hal itu disebabkan, kekuasaan dan
kekayaan kerajaan-kerajaan di Sumatera bersumber dari perniagaan, sedangkan di
Jawa, kedua hal itu bersumber dari pertanian dan perniagaan. Di masa pra
kolonial, pelayaran niaga lah yang cenderunglebih dominan. Namun dapat
dikatakan bahwa di Indonesia secara keseluruhan, pertanian dan perniagaan
sangat berpengaruh dalam perkembangan perekonomian Indonesia, bahkan hingga
saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Buku
modul mata kuliah Sejarah Pemikiran Ekonomi
Creutzberg, Pieter, dan JTM Van Laanen. 1987.
Creutzberg, Pieter, dan JTM Van Laanen. 1987.
Ø Sejarah
Statistik Ekonomi Indonesia. Yayasan Obor
Indonesia:Jakarta.
Leirissa, RZ, GA Ohorella, dan Yuda B. Tangkilisan.1996.
Leirissa, RZ, GA Ohorella, dan Yuda B. Tangkilisan.1996.
Ø Sejarah
Perekonomian Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
RI:Jakarta.
Ø Mustopo,
M.Habib, dkk. 2005. Sejarah
3. Yudhistira:Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar